Asaku Hilang


 

“Nggak usah marah gitu sih,” Kata Asa tanpa menoleh ke arahku. Ia merogoh-rogoh isi tasnya, nggak ada yang tau apa yang lagi dia cari—kecuali dia sendiri.

Aku sebenarnya nggak marah, sama sekali. Asa yang sibuk sama urusannya sendiri. Asa yang ribet sama urusannya sendiri.

“Loh? Apa sih? Orang aku nggak kenapa-napa,” Iya, tadi aku beneran nggak marah. Tapi sekarang kayaknya sedikit kesal.

“Iya. Kelihatan kali.” Kata Asa masih belum menatap siapa yang dia pilih jadi lawan bicara—walaupun sebenarnya sudah jelas itu aku.

“Apa sih, Sa? Nggak jelas,”

“Nggak usah kusut banget gitu deh. Nggak enak tau diliat orang,” Asa sudah menemukan yang ia cari dari dalam tasnya, ternyata handphone kerjaan dia.

“Emang kenapa kalo diliat orang? Malu? Ngapain kamu yang malu, orang aku yang marah, bukan kamu,” Aku nggak mau ngomong yang lebih jelek-jelek lagi dari ini, jadi aku putuskan buat beranjak dan jalan jauh-jauh dari Asa supaya perdebatan yang nggak jelas ini nggak perlu dilanjutkan.

Di belakang sana, Asa pasti bergumam “Kebiasaan,”. Iya, aku nggak bisa se-vokal Asa kalau lagi kesal atau marah. Aku lebih suka diam daripada memperburuk keadaan dan mungkin dibicarain nanti-nanti aja. Tapi menurut Asa itu anak kecil banget. Menurut Asa lebih baik langsung dibicarain daripada keburu lupa dan akhirnya sok melupakan padahal numpuk jadi 'penyakit'.

“Mau ke mana?” “Ngapain ngikutin? Bukannya malu?” “Jangan kayak anak kecil,”

Aku menghentikan langkah kakiku.

“Iya, emang masih anak kecil. Di sini yang dewasa emang cuma kamu aja, Kak Asa.” Aku muntahkan apa yang sering disebut Asa 'penyakit'.

“Emang cuma kamu kok, Sa, yang punya urusan project ini itu sama temen-temenmu yang bahkan aku nggak tau mereka siapa. Emang cuma kamu kok yang urusannya seabrek. Aku bisanya cuma main-main aja, gitu, kan, menurut kamu? Berarti apa? We didn't work, Sa,”

Benak manusia itu seperti taman kota pukul empat sore. Semua boleh datang tanpa diundang. Benak manusia itu seperti taman kota tanpa tuan rumah. Bawa sendiri asa untuk dipeluk erat-erat. Bawa sendiri kecewa untuk dikunyah-kunyah.

Hari itu aku yang pergi, masih meninggalkan setumpuk asaku. Membawa sepucuk kecewa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dim

lampu jalan

at the place where we met